KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT MENENGAH KEBAWAH DI DAERAH PEGUNUNGAN / DI SEKITAR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK


KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT MENENGAH KEBAWAH DI DAERAH DI PEGUNUNGAN / SEKITAR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK


I.              PENDAHULUAN


Tahun 2003 kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) diperluas dari ± 40.000 ha menjadi ± 113.357 ha Banten, yaitu Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Kabupaten Lebak. Berbagai permasalahan dalam pengelolaan TNGHS sampai saat ini belum terpecahkan seperti, degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, adanya pengembangan kampung adat ke dalam kawasan, sengketa tata batas, rendahnya ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan meningkatnya jumlah penduduk di dalam kawasan (Balai TNGHS, 2007) serta konflik kepemilikan lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam (Yatap, 2008). Permasalahan tersebut seringkali berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional yang rendah (Dunggio & Gunawan, 2009).  Pengelolaan hutan bertujuan untuk melestarikan sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Namun, kenyataannya masih terdapat masyarakat miskin di dalam dan di sekitar hutan. Pada tahun 2006 jumlah rumah tangga (RT) miskin yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan TNGHS sebanyak 68.113 RT (Balai TNGHS, 2007). Keberadaan masyarakat sekitar hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan (Hamid et al., 2011). Konsekuensi dari perluasan taman nasional adalah hilangnya hak akses masyarakat untuk dapat menggarap lahan pertanian yang sudah lama dilakukannya (Rahmawati et al., 2008).  Pengelolaan sumberdaya hutan perlu dilakukan dengan berorientasi ekosistem secara keseluruhan (Junaedi & Maryani, 2013) dan berdasarkan pada sifat alami hutan (kondisi biofisik hutan) serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan (Kartodihardjo, 2013). Marwa et al., (2010) mengemukakan bahwa pengelolaan hutan yang baik harus dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan. Keberhasilan pengelolaan taman nasional tidak terlepas dari sikap dan dukungan masyarakat (Kadir et al., 2012). Dukungan dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan akan sulit terwujud jika tidak diimbangi upaya nyata pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan taman nasional (Adiprasetyo et al., 2009).

Pemahaman problem sosial ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional sangat diperlukan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengelolaan taman nasional (Kadir et al., 2012). Menurut Junaedi & Maryani (2013), terdapat hubungan yang erat antara keberadaan hutan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dan kondisi biofisik (lingkungan). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan kajian kondisi sosial ekonomi masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar TNGHS, sehingga dapat ditentukan upaya-upaya pengelolaan serta program-program yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan sebagai bahan kebijakan dalam pengelolaan kawasan TNGHS. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh informasi tentang karakteristik individu dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan TNGHS.

     II.          BAHAN DAN METODE


A.          Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai dengan Mei 2013 di delapan desa yang terletak di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. Pemilihan desa penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling), yaitu desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS dan masyarakatnya memiliki keterkaitan erat dengan kawasan, baik untuk kepentingan sosial maupun ekonomi.

B.           Bahan dan Alat Penelitian Bahan atau objek penelitian adalah komunitas masyarakat di delapan desa yang terletak di sekitar kawasan TNGHS, meliputi Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi (Provinsi Jawa Barat) dan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten). Peralatan yang digunakan adalah recording, GPS, thermometer, hygrometer, kamera foto dan panduan wawancara.

C.           Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan dukungan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan dengan metode survei dan wawancara menggunakan kuesioner atau wawancara mendalam dengan responden terpilih. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden terpilih melalui wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, kantor kecamatan, kantor desa dan Balai TNGHS. Jumlah populasi sebanyak 2.223 kepala keluarga (KK) dengan tingkat kesalahan yang masih bisa dittolerir sebesar 5,4%, sehingga responden yang diwawancara sebanyak 297 responden. Aspek sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan TNGHS yang dikaji meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, luas lahan garapan, tingkat kesehatan, lama tinggal serta status sosial. Data dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk mendeskripsikan karakteristik individu masyarakat dilakukan dengan persamaan selang nilai (Supranto, 2000) dan jumlah kelas dikategorikan menjadi tiga kelas, yaitu rendah, sedang dan tinggi.
Lebar kelas =
Selisih nilai observasi terbesar dengan nilai observasi terkecil / Banyaknya kelas.

 III.          HASIL DAN PEMBAHASAN

   
    A.    Karakteristik Sosial Individu Masyarakat Sekitar TNGHS Karakteristik individu masyarakat merupakan ciri khas yang melekat pada individu yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan dan lingkungan individu yang bersangkutan. Masri (2010) dan Watung et al., (2013) mengemukakan bahwa karakteristik sosial masyarakat meliputi tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, status sosial, jumlah tanggungan keluarga, tingkat kesehatan dan umur.  Dari 297 responden yang diwawancara, 274 responden laki-laki (92,3%) dan 23 responden perempuan (7,7%). Responden secara keseluruhan beragama Islam (100%) dan semuanya beretnis Sunda (100%). Kehidupan beragama  adalah  suatu  hal yang hakiki, karena menyangkut ketenangan batin dan berpengaruh dalam perilaku kehidupan seharihari. Umur responden bervariasi antara 18 sampai 93 tahun atau rata-rata berumur 41 tahun. Menurut penggolongan kelas umur (Mantra, 2000), sebagian besar responden (89,2%) tergolong pada usia produktif (di atas 15 tahun  sampai 55 tahun) dan 10,8% responden pada tingkat usia non produktif  (di atas 55 tahun). Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden sangat berpotensi untuk beraktivitas secara maksimal, memiliki semangat dan kreatif mencari berbagai usaha yang dapat menambah penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarganya. Tingkat umur sangat memberikan pengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam menghasilkan barang dan jasa. Kemampuan ini terkait dengan kondisi fisik, cara berpikir dan kemampuan untuk bekerja. Kadir (2005) mengemukakan bahwa petani yang berusia muda (usia produktif) pada umumnya mampu menerima dengan cepat inovasi atau pun ide-ide baru yang dianjurkan dibandingkan petani yang berusia tua (tidak produktif). Oleh karena itu potensi umur produktif ini perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam pengelolaan TNGHS. 


B.    Jumlah anggota keluarga pada setiap rumah tangga responden memberikan gambaran mengenai ketersediaan tenaga kerja, tanggungan hidup keluarga dan besarnya pendapatan keluarga (Mulyono, 2012). Jumlah tanggungan keluarga dapat mempengaruhi semangat dan kreativitas kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya (Kadir et al., 2012). Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga kurang dari empat jiwa sebanyak 82 responden (27,6%), jumlah anggota keluarga dengan empat jiwa sebanyak 79 responden (26,6%) dan jumlah anggota keluarga lebih dari empat jiwa sebanyak 136 responden (45,8%). Bila ditinjau dari jumlah tanggungan keluarga, yaitu rata-rata berjumlah tiga jiwa, berarti satu kepala keluarga petani harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup empat orang anggota keluarganya. Namun, apabila anggota keluarga dimanfaatkan dengan optimal, keluarga yang besar merupakan sumber tenaga kerja potensial yang dapat meringankan beban kepala keluarga (Pujowati et al., 2010).

C.   Pendidikan responden dapat dikelompokkan menjadi pendidikan formal dan non formal. Tujuan pendidikan formal dan non formal adalah untuk memberikan tambahan pengetahuan, keterampilan dan juga sikap masyarakat (Marwoto, 2013). Pendidikan formal merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan petani dalam menerima inovasi baru (Waluyo et al., 2010). Tingkat pendidikan formal mempunyai peran penting dalam membentuk pola pikir masyarakat dalam bertindak.
              Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah sulit untuk menerima hal-hal baru atau inovasi yang dapat menambah wawasan, pengalaman dan pengetahuan (Kadir, 2005). Ristianasari et al., (2013) mengemukakan bahwa pendidikan formal dan non formal (pelatihan) mempunyai korelasi atau hubungan dengan kemandirian masyarakat. Proses pemberdayaan dapat berjalan lancar apabila pendidikan non formal yang diberikan berkaitan dengan profesi dan potensi sumberdaya lokal. Mayoritas responden dengan tingkat pendidikan formal tergolong rendah (86,9%), yaitu hanya berpendidikan dasar (SD) dan sedikit sekali responden (12,4%) dengan tingkat pendidikan sedang (SLTP-SLTA). Selain itu, masih terdapat kepala keluarga yang tidak menamatkan pendidikan dasar (SD).
 Indikator tingkat pendidikan formal menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia di sekitar kawasan TNGHS mayoritas dalam kategori rendah. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat diakibatkan adanya keterbatasan biaya, sarana dan prasarana. Hal ini terlihat dari minimnya sarana pendidikan, jumlah sekolah dan guru yang terbatas. Sekolah lanjutan hanya ada di pusat kecamatan dengan jumlah yang terbatas. Jarak yang jauh juga menjadi penghambat bagi masyarakat untuk bersekolah. Biaya yang tinggi dan kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah merupakan penyebab utama masyarakat tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah atau perguruan tinggi.
 Tingkat pendidikan yang rendah menjadikan masyarakat tidak punya pilihan pekerjaan lain kecuali bekerja sebagai petani. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang (Syarif, 2010; Kadir et al., 2012).
  Rendahnya tingkat pendidikan mempengaruhi pendapatan petani, karena pengelolaan lahan hanya berdasarkan naluri dan pengalaman yang turun temurun tanpa adanya penerapan inovasi baru. Menurut Hamid et al., (2011), bila tingkat pendidikan masyarakat rendah maka tingkat kesejahteraan masyarakat juga rendah karena tingkat pendidikan berhubungan dengan pendapatan masyarakat. Garsetiasih (2012) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah diperlukan upaya pemberdayaan.
  Pendidikan non formal responden diperoleh dari berbagai pelatihan, kursus atau bimbingan teknis yang pernah diikuti. Perhitungan persamaan selang nilai (Supranto, 2000) menunjukkan bahwa sebagian besar (96%) responden tergolong dalam kategori rendah, yaitu tidak pernah atau hanya maksimal tiga kali mengikuti pendidikan non formal.
  Oleh karena itu perlu usaha-usaha untuk mendorong peningkatan pengetahuan dan keterampilan seperti kegiatan pelatihan, kursus atau bimbingan teknis. Pengetahuan dan informasi yang diperoleh dari pendidikan non formal dapat mengubah pola pikir dan pengambilan keputusan dalam masyarakat (Rinawati, 2012).  Tingkat kesehatan adalah salah satu indikator dari produktivitas. Kesehatan merupakan faktor yang mendukung aktivitas petani dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Jika masyarakat memiliki kesehatan yang baik, maka tingkat kinerjanya juga akan baik dan begitu pula sebaliknya (Marwoto, 2013). Berdasarkan hasil perhitungan persamaan selang nilai (Supranto, 2000), sebagian responden (45,8%) memiliki kondisi prima atau tergolong pada kategori tingkat kesehatan yang tinggi. Terdapat 44 responden atau 14,8% yang memiliki tingkat kesehatan yang rendah, yaitu lebih dari enam kali sakit dalam satu tahun (Tabel 2). Tingkat kesehatan yang tinggi akan meningkatkan produktivitas masyarakat karena akan menambah kemampuan fisik. 
   Mayoritas responden (87,9%) merupakan penduduk asli yang telah bermukim di desa penelitian sejak lahir. Tingkat migrasi penduduk sangat kecil (12,1%), biasanya terjadi karena ikatan pernikahan dengan penduduk setempat. Rata-rata lama tinggal responden di dalam komunitas adalah 38,78 tahun dengan selang antara 2-90 tahun. Sebagian besar responden (69%) tergolong pada kategori tinggi yang berarti lebih dari 31 tahun tergabung dalam komunitasnya. Penduduk asli yang sudah lama tinggal memunculkan keterikatan akan daerah yang dihuninya dan terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan di sekitarnya (Hamid et al., 2011). Status sosial menunjukkan tingkat penghargaan masyarakat pada individu yang bersangkutan dalam kelompok masyarakat (Saputro, 2013). Rinawati (2012) menyatakan bahwa luas kepemilikan lahan, ketokohan, pekerjaan sebagai pegawai pemerintah dan tingkat pendapatan menentukan status sosial seseorang terutama di daerah pedesaan.
   Seseorang dianggap memiliki status sosial rendah jika memiliki lahan yang sempit, pendapatan yang rendah, bukan tokoh masyarakat/adat/agama dan bukan pegawai pemerintah. Seseorang dianggap  memiliki status sosial sedang jika memiliki lahan dan pendapatan diantara rata-rata masyarakat di sekitarnya dan atau tergolong tokoh masyarakat/adat/agama atau pegawai pemerintah. Masyarakat yang memiliki status sosial tinggi yaitu orang kaya, pendapatannya di atas rata-rata masyarakat di sekitarnya, memiliki lahan yang luas dan atau tokoh masyarakat/adat/agama atau pegawai pemerintah. Status sosial umumnya ditentukan oleh kedudukan seseorang di dalam masyarakat. Sebagian besar responden (60,3%) memiliki status sosial yang rendah (Tabel 2). Data tersebut sejalan dengan hasil penelitian Rinawati (2012) yang mengemukakan bahwa secara umum petani memiliki status sosial yang rendah.

D.   Karakteristik Ekonomi Individu Masyarakat Sekitar TNGHS  Masyarakat yang tinggal di sekitar TNGHS umumya mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani. Hasil penelitian menunjukkan 82,8% responden berprofesi petani, selebihnya (17,8%) mempunyai mata pencaharian yang bervariasi, yaitu buruh, pedagang, wiraswasta, penyadap dan pegawai harian lepas. Desa Pangradin adalah satusatunya desa yang mayoritas respondennya mempunyai pekerjaan utama sebagai penyadap getah karet (Hevea brasiliensis).
            Hal ini dikarenakan lahankawasan TNGHS yang dikelola masyarakat Desa Pangradin berupa perkebunan karet. Mata pencaharian sebagian besar responden seperti tersebut di atas menggambarkan tingkat ketergantungan masyarakat sekitar TNGHS yang tinggi akan sumberdaya lahan. Hal yang perlu dilakukan adalah mengarahkan dan membina masyarakat melalui penyuluhan, sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas lahan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
   Selain mempunyai pekerjaan utama, sebagian besar responden mempunyai mata pencaharian sampingan. Jumlah responden yang mempunyai mata pencaharian sampingan sebanyak 256 responden atau 86,2% dari total responden. Jenis mata pencaharian sampingan responden bervariasi,yaitu buruh   tani/bangunan (44,2%), pedagang/wiraswasta (17,8%), penyadap getah pinus atau aren (6,4%), supir ojeg, beternak dan lainnya (17,8%). Namun masih banyak pula responden yang hanya mengandalkan pendapatannya dari hasil pertanian sebagai pekerjaan utama dan tidak mempunyai pekerjaan sampingan, yaitu sebanyak 41 responden atau 13,8%.
   Oleh karena itu perlu pengembangan keterampilan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat supaya tidak hanya mengandalkan pendapatan dari penggunaan lahan. Luas lahan garapan merupakan luas keseluruhan lahan yang digarap responden untuk tujuan produksi, baik lahan milik sendiri maupun lahan TNGHS. Lahan garapan yang dikelola/digarap responden berupa sawah dan atau kebun. Sebagian besar responden (55,5%) memiliki lahan garapan dengan kategori sempit, yaitu kurang dari 0,5 ha. Rata-rata luas lahan garapan responden di delapan desa kajian sebesar 0,60 ha dengan selang antara 0,19 ha sampai 1,42 ha. Adi prasetyo et al., (2009) mengemukakan bahwa luas kepemilikan lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam.
      Permasalahan yang dihadapi petani dalam mendukung mata pencaharian mereka antara lain terbatasnya lahan pertanian (Maryudi & Krott (2012). Hamid et al., (2011) mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara luas kepemilikan lahan dengan aspek sosial ekonomi masyarakat. Semakin luas kepemilikan lahan masyarakat, maka semakin sejahtera kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut. Persentase jumlah responden yang memiliki lahan dan yang tidak memiliki lahan milik, baik berupa kebun dan atau sawah hampir seimbang masing-masing sebesar 50,84% dan 49,16%. Diantara responden yang mempunyai lahan milik, sebanyak 93 responden atau 31,31% memiliki lahan dengan luas kategori rendah (< 0,25 ha), hanya sebagian kecil (12,12%) yang luas lahan miliknya termasuk kategori sedang ( 0,25-0,50 ha) dan sebanyak 7,41%  termasuk kategori tinggi (> 0,5 ha) . Oleh karena itu penggunaan lahan di kawasan TNGHS, khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan, merupakan satu-satunya sumber pendapatan/mata pencaharian dalam menopang kebutuhan rumah tangga mereka. Subarna (2011) mengemukakan bahwa luas lahan milik yang sempit menyebabkan pendapatan petani sangat rendah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, mereka memperluas usaha taninya melalui garapan di hutan yang berbatasan dengan desanya. Seluruh responden (100%) merupakan petani penggarap pada lahan negara. Petani penggarap di kawasan taman nasional umumnya adalah eks petani PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat) pada masa pengelolaan oleh Perum Perhutani. Petani umumnya memahami status lahan sebagai lahan negara tetapi karena sebagian besar adalah petani subsisten yang berpikir jangka pendek, maka mereka tetap beraktivitas pada lahan garapannya. Yatap (2008) mengemukakan bahwa kebutuhan lahan pertanian dan perkebunan dan pemanfaatan langsung sumberdaya hutan telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap adanya perubahan penutupan lahan di kawasan TNGHS. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden (67,34%) memiliki luas lahan garapan di kawasan TNGHS dengan kategori rendah (< 0,5 ha). Pengguna lahan TNGHS dengan kategori sedang sampai tinggi terbanyak dijumpai di Desa Pangradin dan Desa Lebak Gedong.
    Hal ini terjadi karena selama masa transisi perluasan kawasan taman nasional masyarakat berlomba-lomba memperluas lahan garapan di kawasan yang semula dikelola Perum Perhutani sebagai hutan produksi. Luas lahan garapan TNGHS terendah di Desa Tapos, sebagian besar digunakan untuk budidaya tanaman poh-pohan (Pilea melastomoides) di bawah tegakan pinus (Pinus merkusii) untuk menunjang kebutuhan ekonomi rumah tangga. Jenis penggunaan lahan dengan tanaman pohpohan membuat kondisi hutan tetap terjaga dan masyarakat mendapatkan keuntungan dari penggunaan lahan.
       Penggunaan lahan kawasan TNGHS oleh masyarakat berupa sawah dan atau kebun dengan luas lahan yang bervariasi. Pada dasarnya pemanfaatan lahan kawasan TNGHS bertentangan dan melanggar hukum, namun karena sudah berlangsung sejak sebelum adanya penunjukkan kawasan, maka pihak pengelola taman nasional memberikan kebijakan dengan memperbolehkan penggarapan lahan tetapi tidak diperkenankan adanya perluasan. Masyarakat juga diwajibkan menanam tanaman kehutanan di lahan garapannya seperti puspa (Schima wallichii), kayu afrika (Maesopsis emini) dan rasamala (Altingia excelsa) dengan jarak tanam 5 m x 5 m atau sebanyak 400 pohon/ ha.
       Dapat dilihat bahwa sebagian besar responden tidak memiliki lahan sawah di kawasan TNGHS, yaitu sebanyak 174 responden atau 58,6% dari total responden. Sebanyak 41,4% responden memiliki sawah di kawasan TNGHS dengan luas yang bervariasi, yaitu < 0,25 ha dengan katagori rendah (27,3%), kategori sedang (13,1%) dengan selang 0,250,5 ha dan kategori tinggi (1%) dengan luas > 1,0 ha. Hasil studi yang dilakukan Galudra et al., (2005) didapatkan bahwa pada beberapa bagian kawasan hutan yang ditunjuk telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Tingkat ketergantungan terhadap lahan akan semakin meningkat dengan bertambahnya penduduk di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS. Gunawan et al., (2013) juga mengemukakan bahwa tingkat ketergantungan terhadap lahan untuk usaha tani di kawasan taman nasional oleh eks peserta PHBM masa pengelolaan Perum Perhutani menjadi semakin meningkat dengan semakin bertambahnya penduduk, sementara ketersediaan lahan tidak bertambah.

E.  Pendapatan keluarga diukur dengan banyaknya akumulasi pendapatan semua anggota keluarga dalam satu bulan (Rp/ bulan), baik dari pendapatan utama maupun pendapatan dari pekerjaan sampingan. Besar kecilnya pendapatan petani mempengaruhi keputusan apa yang akan dikerjakan dan jenis usaha yang akan dilakukannya pada sebidang lahan yang dimilikinya. Berdasarkan hasil perhitungan persamaan selang nilai (Supranto, 2000), pendapatan responden di bawah Rp 1.055.000,- pada kategori rendah, pendapatan Rp 1.056.000,- - Rp 1.850.000,- kategori sedang dan pendapatan lebih besar dari Rp 1.850.000,- kategori tinggi. Sebanyak 138 responden atau 46,46% termasuk keluarga dengan tingkat pendapatan pada kategori rendah (< Rp 1.055.000,-) dan sebanyak 123 responden 41,41% pada kategori sedang (Rp.1.056.000,- - Rp 1.850.000,-). Sebagian besar mereka adalah responden yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan. Penghasilan responden dari hasil pertanian tidak menentu, sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca dan faktor pasar (penawaran dan permintaan barang). Pasar hasil pertanian juga dikuasai tengkulak, sehingga sebagian besar petani tidak memiliki posisi tawar yang tinggi. Rata-rata pendapatan responden sebesar Rp 1.155.000,-/bulan dengan selang antara Rp 257.000,- sampai Rp 2.650.000,-. Rata-rata tingkat pendapatan responden masih ada di bawah Upah Minimum Regional (UMR) baik Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor yaitu sebesar Rp 2.042.000,- dan Kabupaten Sukabumi sebesar Rp 1.201.000,-) maupun Provinsi Banten (Kabupaten Lebak sebesar Rp 1.187.000,-). Tingkat pendapatan di Desa Pangradin relatif lebih tinggi dari pendapatan desa lainnya, terutama bersumber dari hasil menyadap karet baik di lahan milik maupun lahan garapan di kawasan TNGHS. Mayoritas responden mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani, sehingga untuk mencukupi kebutuhannya, maka lahan garapan di kawasan TNGHS menjadi alternatif sumber pendapatan dalam pemenuhan kebutuhan pokok hidup masyarakat.
 Tingkat pemenuhan kebutuhan masyarakat dari kawasan TNGHS menunjukkan tingkat ketergantungan masyarakat tersebut terhadap kawasan TNGHS. Berdasarkan hasil perhitungan persamaan selang nilai (Supranto, 2000), pendapatan responden dari lahan garapan di kawasan TNGHS termasuk kategori rendah (< Rp 500.000,-) sedang (Rp 500.000,- - Rp 1.000.000,-) dan tinggi (> Rp 1.000.000,-). Sebagian besar responden (73,7%) termasuk keluarga dengan tingkat pendapatan rendah, sebanyak 23,9% responden dengan kategori sedang dan 2,4% dengan kategori tinggi. Tingkat pendapatan responden di Desa Pangradin relatif lebih tinggi dari ketujuh desa kajian lainnya, yaitu dengan katagori sedang (55,5%) sampai tinggi (13,8%) dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 817.000,-/bulan. Penghasilan setiap hari terutama dari hasil sadapan getah karet. Pendapatan terendah dari penggunaan lahan garapan masyarakat di kawasan TNGHS yaitu Desa Mekarnangka dengan rata-rata sebesar Rp 194.000,-/ bulan.
Hal ini karena adanya penurunan produktivitas lahan. Jenis tanaman yang dibudidayakan di wilayah ini adalah tanaman singkong (Manihot utilissima). Pengelolaan hutan perlu diarahkan sebagai penghasil HHBK yang dapat membuka kegiatan dan penghasilan bagi masyarakat lokal dengan memperhatikan faktor ekologisnya. Konsep HHBK menjadi pilihan ekologi yang diterima secara ekonomi dalam pembangunan (Ahenkan & Boon, 2011). Masyarakat di dalam dan di sekitar TNGHS memanfaatkan kawasan hutan untuk lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Yudilastiantoro (2011) mengemukakan bahwa kontribusi hasil usaha tani terhadap pendapatan keluarga dapat menunjukkan besarnya ketergantungan terhadap lahan.
 Berdasarkan hasil perhitungan persamaan selang nilai (Supranto, 2000), kontribusi pendapatan dari lahan TNGHS terhadap total pendapatan yakni kategori rendah (≤ 35%), kategori sedang (36-67%) dan kategori tinggi (> 67%). Kontribusi lahan TNGHS terhadap total pendapatan responden di seluruh desa kajian termasuk kategori sedang ratarata sebesar 38,65% dari total pendapatan rumah tangga. Mayoritas responden tidak mengandalkan penghasilannya dari lahan garapan, namun memiliki pekerjaan sampingan yang bervariasi. Kontribusi pendapatan dari lahan TNGHS tertinggi di Desa Pangradin, yaitu sebanyak 47,2% responden dengan kategori tinggi, 38,9% responden dengan kategori sedang, rata-rata sebesar 65,38% dari total pendapatan rumah tanggga. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat Desa Pangradin pada lahan garapan di kawasan TNGHS lebih tinggi dari desa lainnya. Kontribusi terendah terdapat di Desa Malasari, yaitu sebanyak 92,5% responden. Hal ini karena sebagian besar responden mempunyai pekerjaan sampingan sebagai buruh tumbuk tanah yang mengandung emas dari penambang emas tanpa ijin (PETI) dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 1.200.000,-/bulan. Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan TNGHS, maka pihak pengelola berkolaborasi dengan pihak stakeholder lainnya memberikan alternatif sumber pendapatan masyarakat seperti pelatihan pembudidayaan berbagai jenis tumbuhan dan ternak yang memberikan nilai ekonomis pada masyarakat di sekitar hutan. 
 Rata-rata jarak antara pemukiman dengan lahan garapan di kawasan TNGHS bervariasi pada masing-masing desa, yaitu berkisar antara 0,1 km sampai 5 km dengan rata-rata 1,71 km. Sebagian besar responden mengelola lahan garapan di kawasan TNGHS pada kategori jauh di atas 1,5 km dan sedang (0,6-1,5 km), masing-masing sebanyak 38,05% dan 35,69%. Jarak tempat tinggal responden terdekat ke lokasi garapan yaitu Desa Cipeuteuy dengan rata-rata 0,85 km dan waktu tempuh sekitar 15-30 menit. Jarak terjauh ke lokasi garapan TNGHS yaitu Desa Pangradin, rata-rata 3,57 km dan waktu tempuh sekitar satu sampai dengan dua jam dengan kondisi wilayah berbukit. Informasi jarak tempat tinggal dengan lahan garapan diperlukan untuk mengetahui kemampuan masyarakat untuk mencapai lahannya. Jangka waktu responden telah menggarap lahan di kawasan TNGHS berkisar antara 2 sampai 30 tahun dengan rata-rata 12,76 tahun. Sebagian besar respon-den (51,52%) telah menggarap lahan di kawasan TNGHS sebagai lahan perkebunan atau pertanian dengan jangka waktu lebih dari 10 tahun, yaitu sejak sebelum adanya perluasan/penunjukkan kawasan menjadi taman nasional pada tahun 2003. Sebanyak 82 responden atau 27,61% mulai menggarap lahan di kawasan TNGHS dengan jangka waktu enam sampai dengan 10 tahun, yaitu pada masa transisi pengelolaan pada tahun 2003-2006. Hal ini mengindikasikan bahwa selama masa transisi pengelolaan telah terjadi perambahan kawasan oleh masyarakat sekitar hutan, karena sejak tahun 2003 Perum Perhutani telah melimpahkan pengelolaannya ke taman nasional sedangkan proses administrasi pelimpahan baru selesai pada tahun 2006. Sebanyak 62 responden atau 20,88% mulai menggarap lahan kawasan TNGHS sejak tahun 2007. Hal ini terjadi karena terbatasnya kemampuan pengelola taman nasional dalam melakukan pengamanan. Jumlah tenaga pengelola taman nasional yang sangat terbatas, terutama tenaga lapangan, tidak mampu mengamankan kawasan konservasi yang relatif luas. Saat ini terdapat 45 orang jagawana yang bertugas melindungi kawasan TNGHS dengan luas sekitar 113.357 hektar. Dunggio & Gunawan (2009) mengemukakan bahwa selain partisipasi masyarakat, keberhasilan pengelolaan taman nasional sangat ditentukan juga oleh kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia. Oleh karena itu pihak pengelola perlu meningkatkan pengawasan supaya tidak terjadi perluasan penggunaan lahan kawasan TNGHS oleh masyarakat.


  IV.          KESIMPULAN DAN SARAN


A.          Kesimpulan 1. Kondisi sosial masyarakat di sekitar kawasan TNGHS relatif homogen, termasuk dalam kategori masyarakat desa dengan tingkat pendidikan yang masih rendah. Mayoritas responden berusia produktif dan merupakan penduduk asli setempat dengan kondisi kesehatan yang prima serta status sosial yang rendah.  2. Kondisi ekonomi masyarakat di sekitar kawasan TNGHS termasuk dalam kategori masyarakat desa dengan tingkat pendapatan rendah, yaitu masih ada di bawah Upah Minimum Regional (UMR) dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 1.155.000,-/bulan. Kontribusi pendapatan dari lahan TNGHS terhadap total pendapatan ru-mah tangga termasuk kategori sedang (3667% dari total pendapatan) dengan rata-rata 38,65%.

B.           Saran 1. Tingkat pendidikan formal masyarakat  yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS perlu ditingkatkan melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan.  2. Dalam  upaya  mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan lahan TNGHS, peran masyarakat dalam pengelolaan TNGHS perlu ditingkatkan melalui penyuluhan konservasi, agroforestry dan pelatihan peternakan.


DAFTAR PUSTAKA


Adiprasetyo, T., Eriyanto, Noor, E. & Sofyan F. (2009). Sikap masyarakat lokal terhadap konservasi taman nasional sebagai pendukung keputusan dalam pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat. Jurnal Bumi Lestari 9 (2) : 173-186. Universitas Udayana. Bali. fg
Ahenkan, A. & Boon, E. (2011). Non-timber forest product (NTFPs) : clearing the confusion in semantics. Journal of Human Ecology 33 (1) : 1-9. Kamla-Raj Enterprises. New Delhi. Diakses Mei 2014 dari http://www.krepublisher.com.
Balai TNGHS. (2007). Rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak periode 2007-2026. Kabandungan (ID) : BTNGHS.
Departemen Kehutanan. (2003). Keputusan Menteri Kehutanan No.175/ kpts-II/2003 Tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dari 40.000 Hektar menjadi 113.357 Hektar. Dunggio, I. & Gunawan, H. (2009). Telaah sejarah kebijakan pengelolaan taman nasional di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 6 (1) : 43-56. Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor.
Galudra, G., Sirait, M., Rhamdaniaty, N., Soenarto, F. & Nurzaman, B. (2005). History of landuse and degradation of Mount Halimun Salak National Park. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 11 (1) : 1-13. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Garsetiasih, R. (2012). Manajemen konflik konservasi Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) dengan masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 218 hal.
Gunawan, H., Bismark, M. & Krisnawati, H. (2013). Kajian sosial ekonomi masyarakat sekitar sebagai dasar penetapan tipe penyangga Taman Nasional Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 10 (2) : 103117. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Hamid, R., Zulkarnaini, & Saam, Z. (2011). Analisis sosial ekonomi masyarakat desa hutan pasca kegiatan HPH PT Siak Raya Timber di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan 5 (2) : 130 148. Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Riau. Pekan Baru.
Hardiansyah, G., Boer, R., Kusmana, C. & Darusman, D. (2009). Dinamika sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dalam hubungannya dengan model pengelolaan hutan produksi dan sistem TPTII dalam kerangka REDD. Jurnal Perennial 5 (1) : 45-52. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar.
Junaedi, E., & Maryani, R. (2013). Pengaruh dinamika spasial sosial ekonomi pada suatu lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap keberadaan lanskap hutan (studi kasus pada DAS Citanduy Hulu dan DAS Ciseel, Jawa Barat). Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan 10 (2) : 122139. Puslitbang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.
Kadir, A. (2005). Pengembangan sosial forestry di SPUC Borisallo : analisis sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Info Sosial Ekonomi 5 (2) : 297-309. Puslitbang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.
Kadir, A., Awang, S.A., Purwanto, R.H., & Poedjirahajoe, E. (2012). Analisis kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Taman Nasional Batimurung Bulusaraung, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Manusia Dan Lingkungan 19 (1) : 1-11. Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kartodihardjo, H. (2013). Tantangan penggunaan interdisiplin dalam pengelolaan hutan: anjuran koalisi ilmu-ilmu manajemen hutan, ekonomi dan institusi. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, XIX (3) : 216-218. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mantra, I.B. (2000). Demografi umum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 396 hal. Marwa, J., Purnomo, H., & Nurrochmat, D.R. (2010). Managing the last frontier of Indonesian forest in Papua. AKECOP Korea and IPB. Bogor.
Marwoto. (2013). Peran modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat. [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 152 hal.
Maryudi, A., & Krott, M. (2012). Local struggle for accessing state forest property in a Montane Forest Village in Java, Indonesia.  Journal of Sustainable Development 5 (7) : 62-68. Doi 10.5539/jsd. v5n7p62. Diakses 15 Juni 2014 dari http://www.ccsenet.org/ journal/index.php/jsd/article/view/16935.
Masri. (2010). Identifikasi karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat nelayan Sungai Limau di Kabupaten Padang Pariaman dalam penyediaan perumahan pemukiman. [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Dipenogoro. Semarang. 141 hal.
Mulyono, M.M.B. (2012). Modal sosial dalam pengelolaan kebun hutan (dukuh) di Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hal.
Nazir, M. (2009). Metode penelitian. Cetakan ke7. Ghalia Indonesia. Bogor. 544 hal. Pujowati, P., Arifin, A.S., & Mugnisjah, W.Q. (2010). Analisis sosial ekonomi masyarakat di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus dalam rencana pengelolaan lanskap Agroforesty. Jurnal Agro Ekonomi Kehutanan EPP 7 (1) : 8-13. Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman. Samarinda.
Rahmawati, R., Subair, Idris, Gentini, Dian, E. & Usep, S. (2008). Pengetahuan lokal masyarakat adat Kasepuhan: adaptasi, konflik dan dinamika sosio-ekologis. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia 2 : 153-186. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rinawati, R. (2012). Modal sosial masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat di Sub Das Cisadane Hulu (kasus di areal DAS Mikro Sub DAS Cisadane Hulu) [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 170 hal.
Ristianasari, Muljono, P., & Gani, D.S. (2003). Dampak program pemberdayaan model desa konservasi terhadap kemandirian masyarakat : kasus di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi 10 (3):: 173-185. Puslitbang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.
Saputro, A.W. (2013). Modal sosial dan persepsi masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 132 hal.
Subarna, T. (2011). Faktor yang mempengaruhi masyarakat menggarap lahan di hutan lindung : studi kasus di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan 8 (4) : 265-275. Puslitbang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.



*Jika ingin lihat saja lebih baik di download terlebih dahulu karena view dari google drivenya sendiri masih kurang bagus atau dokumen jadi rusak lebih baik di download dulu ya....↓
Jika Ingin Mendownload Makalahnya Disini Klik | Google Drive | 😉

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia dan Keindahan

2.1 Sebutkan sejarah dan jelaskan televisi analog dan digital

2.7 Jelaskan tentang teknik pembuatan naskah film digital